Teknologi yang Membutakan atau Buta Teknologi?

22.05

Maaf sebelumnya, tulisan ini hanyalah sebuah subjektivitas dari seorang biasa yang berpemikiran sempit. Jadi apabila ada kata yang tanpa sengaja menyinggung, saya harap agar tidak dimasukkan ke dalam hati.


Tahun ini, Indonesia sudah bisa dikategorikan mendekati ambang kehancuran, alias 'kiamat'. Berbagai tingkah fanatik mulai mendominasi ke permukaan, menyeberangi batas nyata, dan melanglang dunia maya. Teknologi. Internet. Media elektronik. Adalah suatu kebodohan bagi rakyat Indonesia yang mengaku-ngaku mengikuti perkembangan zaman, apabila mereka sebenarnya tidak bisa memilah dengan baik apa yang benar dan apa yang salah. Alih-alih melakukan kejahatan via teknologi, kenapa tidak menyebarkan perdamaian saja lewat teknologi, hm? Bukankah orang-orang di luar negeri sana menciptakan Facebook untuk memudahkan komunikasi? Tidak mungkin jika penipuan, pemerkosaan dan perilaku tak bermoral itu adalah tujuan dari situs jejaring sosial itu. Bila iya, tentu mereka sudah kena sanksinya jauh sebelum situs itu marak membumi seperti sekarang.

Selain itu, pikiran sempit yang diselubungi emosi menyebabkan berbagai persoalan, terutama bila kita menyalahgunakan teknologi sebagai sarana mengumpat (saya juga pernah seperti itu, dan saya bertekad tak mengulanginya lagi). Syukur-syukur bila tak ada yang melihat. Bagaimana kalau tersebar ke seluruh dunia? Dalam seperdetik saja, internet mampu mengedarkan data nyaris ke tiap pelosok. Semua mata maya memandang, menelusuri, menelisik kata demi kata yang 'dibuang' tadi. Dilemanya, akan timbul pertikaian. Masalah yang semula kecil jadi dibesar-besarkan. Apalagi jika berbau SARA. Ironis.

Ingatkah bahwa Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke? Beribu pulau beserta suku, adat, agama, bahasa, dan segala perbedaan itu adalah harta yang tak ternilai. Dibangun berdasar kerja keras Patih Gajah Mada, dan kini harus terpecah karena ucapan orang tak bertanggungjawab. Tidakkah kasihan dengan guru yang sedari kecil mengajarkan kita yang mana yang baik dan yang mana yang salah? Tidakkah kasihan dengan kepentingan orang lain?

Mereka mungkin buta akan teknologi. Tetapi memakai tameng 'teknologi yang membutakan'.

Dua puluh satu tahun berlalu, maka telah berlalu pula dua puluh satu Nyepi di Pulau Bali ini. Baru tahun ini yang menuai perdebatan. Karena apa? Tidak ada acara tv? Iya, jujur, saya agak kaget ketika melihat barisan semut di kotak 14 inch itu. Tapi itu bukan masalah besar. Kalau ingin memprotes, mengapa tidak dari zaman nenek moyang saja adakan unjuk rasa kalau begitu? Dahulu, Bali tidak sepadat sekarang. Masih ada tempat untuk berjalan kaki, menyempatkan diri mengobrol dengan tetangga yang berjarak jauh dengan rumah. Kini yang berdiri hanyalah beton yang saling bersaing. Terkadang malah dipaksakan. Bahasa asing dari daerah lain (utara rumah dipenuhi anak kos dari Kupang, selatan rumah adalah kumpulan pedagang dari Jawa) silih berganti melewati telinga, tapi saya tidak merasa terganggu. Malah semakin greget ingin mempelajari bahasa mereka karena takut diperbincangkan diam-diam (geer). Hehehe. Tapi toh mereka juga tak pernah protes hidup dengan sehari seperti ini. Tak pernah ada protes atas suara takbir yang menggema dari jarak seperempat kilometer itu. Atau deretan mobil dan motor di hari kebaktian mereka. Saya pernah diundang ke gereja, melihat cara mereka beribadah, bernyanyi. Rasanya menggetarkan, sama halnya jika membaca Gayatri mantram. Mungkin sama rasanya dengan cara agama lain. Tujuan kita juga sama, Tuhan. Meskipun Beliau dipuja dengan banyak nama, tapi Beliau tetap hanya satu. Lagipula, damai itu indah. Indah itu karena perbedaan yang harmonis...

...dan bukan saling mencerca!

"Satu hari Nyepi di Bali kayak tai"

"Kenapa Nyepi di Bali diistimewakan sampai harus menutup bandara?"


Mirisnya, bukan itu saja yang diperbincangkan akhir-akhir ini. Status FB dan sms di Metro Highlight bernuansa SARA malah seakan menjadi hitam yang ditutup-tutupi dengan putih. Artikel kompasiana yang ditulis kemarin (230310) pun harus dihapus oleh penulisnya yang menerima kritik balik atas kritik tak sehatnya. Saya jadi kasihan pada kasus email protes malpraktek salah satu rumah sakit swasta yang berujung pada pengadilan. Badan swasta saja bisa sampai 'wah', kenapa ini tidak? Jangan berpikir picik deh. Ada untungnya, demi menjaga persatuan dan kesatuan negara kita. Sebenarnya, ocehan-ocehan tak berbobot itu tak perlu digubris. Anggap saja angin kentut yang menyebar, kemudian berlalu tanpa bekas. Gak lucu dong, Indonesia 'kiamat' karena mereka-mereka yang buta teknologi ini.

Gunakan teknologi dengan tepat dan cermat. Gunakan untuk menyatukan dunia, menyelamatkan dunia dari kehancuran. Ada bahaya lain yang lebih besar dari pada aksi provokasi itu. Global warming pada bumi, meliputi Indonesia. Saya cinta Indonesia, beserta keragaman yang dimilikinya. Bagaimana dengan anda?

You Might Also Like

0 comments