Dia
19.22Aku memindainya pada tanah yang berdebu. Ketika sinar matahari membakar kulit. Ketika bayangan daun meneduhkan, meski hanya sesaat. Dan di sana, aku berdiri, bersebelahan. Kata mereka, aku berpenyakit. Tapi dia tidak. Dia disakiti. Tanyaku, "Apa salahmu? Kau tidak ada salah kan?" Lalu dia menyahut, tanpa menolehkan wajahnya padaku, "Biarkan saja. Supaya mereka senang."
Aku memindainya pada tanah yang berdebu. Tiang dan terpal, butiran garam. Pembodohan. Sapaku, "Melamun saja." Lalu dia menyahut, dengan sedikit lirikan mata. Juga anggukan kecil. Nyaris tanpa kata. Ketika malam meraja, beralas garis-garis rumput, menari api pada kayu bertumpuk, tak kupindai dia dengan pendengaranku. Petikan gitarnya saat itu. Asing.
Aku memindainya pada lantai marmer yang dingin. Tembok-tembok beku. Engsel besi yang meringis. Tanyanya, "Kau sudah punya kekasih?" Dan kujawab dengan penuh kebanggaan. Sebelum senyum berubah menjadi ringisan. Bulir air mata. Sebuah sentuhan pada lengan, telapak tangan, jari tangan. Itu saja. Tapi dia telah terpindai hitam di catatanku. Legam. Dan aku, selalu, menautkan jarak darinya.
Aku memindainya pada sebuah kabar dari mulut ke mulut. Ketika penyangga tangga bercerita tentang mereka. Sebuah kisah sejenis, dan katup pintu membuka memamerkannya. Tawa itu, senyum itu. Entah mengapa ada sesuatu yang teriris. Mungkin karet penghapus. Yang diam-diam menggosokkan dirinya pada catatan hitamku. Ya. Kami telah bersahaja, kawan yang karib.
Aku memindainya pada sebuah ruangan yang biasa kami jajaki. Berlembar kertas, suara decitan mesin pencetak, layar putih dengan tayangan film. Tanganku penuh dengan makanan, membagi ratakan pada bergunung-gunung kotak. Lalu berlari pada cap berwarna biru keunguan di sana. Terbujurlah kaku, melihatnya. Dia, kelelahan.
Aku memindainya pada tanah lapang super berdebu. Tanpa atap. Sebelum sorak sorai meriah. Dia, meminjam kalung. Juga menghilangkannya. Katanya, "Hilang secara misterius." Aku tak pernah percaya.
Aku memindainya pada sebuah ruangan yang biasa kami jajaki. Ketika hening melanda, dan kami berada di bawah pengaruh pengajar. Dan suara bergetar dari pria di depan masih teringat dengan jelas. Kata pria itu, "Bila kau tidur, tidurlah di luar." Dia menjawab, "Maaf. Saya tidak tidur dua hari. Mengerjakan kording jurusan." Tanya pria itu lagi, "Apa yang telah kau capai?" Jawabnya, sopan, "Hanya nomor satu." Dan pria pengajar menyuruhnya untuk berkubang kembali dalam mimpi. Di antara aku dan mereka, bergerumul dalam kosakata asing, juga matematika.
Aku banyak memindainya. Semakin banyak pada hari keseratus. Banyak cerita, tawa, pertaruhan, kata-kata melankolis, dan lagu. Saat itu, aku tahu, dia mempelajari kegemaranku.
Aku memindainya pada awal pagi yang menyesakkan. Dia yang pertama, yang tahu. Aku sangat kehilangan. Mereka juga kehilangan. Derai tangis bersahutan. Aku sendiri, tak pernah yakin bisa berdiri.
Dan aku, memindainya lagi. Pada kumpulan barisan pasir, gemuruh ombak, senja yang karam. Dia menawarkan tuntunan, sebelum hari menggelap. Kusambut, dengan lembut. Memulai sebuah pindaian baru. Terus-menerus. Hanya saja, dia ada hanya untukku. Tawa itu milikku. Tatapannya milikku. Petikan dawainya, nyanyiannya untukku. Tulisan majalahnya tergambar coretanku. Juga pada telapak kakinya, dan punggung yang melebar.
Dia.
0 comments