Pendidikan di Indonesia : Dari Zaman Batu Hingga Zaman Tak Berbentuk
07.26
Masih teringat jelas sebuah kisah bersama almarhum ayah, yang ketika itu sedang menasehatiku tentang betapa beruntungnya diriku. Diri kami. Murid-murid seusiaku, yang pada era itu sudah menggunakan buku untuk sarana belajar.
Zaman Batu
Konon katanya, pada pertengahan hingga menjelang kuartal terakhir abad ke-20 itu, tiada buku tulis yang diapit oleh jemari tangan murid-murid ketika menginjakkan kakinya di kelas. Sebuah batu berwarna gelap kepekatan menjadi satu-satunya media belajar. Di sini, ada yang menyebutnya sebagai “lai” atau “karas” dan juga “gerip” untuk alat menulisnya, atau beberapa istilah lainnya yang kemungkinan besar berbeda di daerah-daerah Nusantara lainnya.
Ketika kegiatan belajar-mengajar dilangsungkan, murid-murid mengikuti sebagaimana mestinya. Catatan atau tulisan dibuat di atas permukaan batu tersebut dengan cara memahat atau menggoreskan batu lainnya. Sejenis batu kapur, aku rasa. Karena meski tak ada kesempatan untuk membuka lembaran berikutnya, murid-murid pada masa itu masih bisa menghapus tulisan mereka dan menumpuknya dengan yang baru.
Rasa jengah masih kurasakan hingga kini. Selain karena keterbatasan media belajar yang kudengar—yang masih berupa peralatan keras ibarat zaman batu pada sejarah peradaban manusia, gemblengan para pengajarnya pun tidak kalah keras. Jeweran, pukulan bukan hal yang terlarang pada saat itu. Namun, selalu ada putih di balik hitam. Hampir tak pernah aku mendengar angkatan itu memiliki ingatan yang buruk tentang apa yang sudah mereka pelajari di masa sekolah dahulu.
Ketika Batu Berubah Menjadi Kertas
Seiring dengan berlalunya waktu, pendidikan di Indonesia berubah menjadi lebih lunak. Batu untuk menulis pun ditepikan. Digantikan dengan sesuatu yang lebih lembut, lembaran-lemabaran kertas dalam buku tulis. Pensil dan karet penghapus menjadi teman belajar. Juga pulpen, bagi tingkatan yang lebih tinggi, yang sudah memantapkan apa yang akan ia tulis. Tapi masih ada kesempatan untuk meralat, tentu, dengan hadirnya cairan berwarna putih yang disebut “Tip Ex”.
Ketegangan yang semula mendominasi perlahan menghilang. Kekerasan guru terhadap murid semakin diminimalisir, dan murid-murid makin banyak memiliki kesempatan untuk belajar. Tidak hanya pada saat kelas berlangsung, tapi juga di rumah. Tidak perlu lagi takut akan kehilangan ilmu ketika tidak konsentrasi, karena catatan pada buku tulis selalu setia membantu ingatan. Makin banyak catatan, makin banyak ilmu yang telah didapat.
Sayangnya, tumpukan demi tumpukan buku catatan yang semakin menggunung mengikuti perkembangan tingkatan murid tidak selamanya diraih kembali oleh murid. Dan apakah semua buku tulis digunakan hanya untuk mencatat pelajaran? Bukan hal yang jarang menemukan buku tulis yang baru terisi sebagian, atau buku tulis yang hanya digunakan untuk corat-coret tak menentu. Pada akhirnya, buku-buku tersebut akan berakhir pada proses daur ulang.
Penelitian menyatakan bahwa rata-rata 6% pohon digunakan untuk membuat satu rim kertas. Dengan kata lain, satu pohon menghasilkan 16,67 rim kertas. Bila satu orang murid memerlukan tiga rim kertas untuk kegiatan sekolahnya—entah untuk catatan maupun projek-projek yang diberikan gurunya, kira-kira berapa banyak pohon yang harus direlakan untuk seluruh pelajar di Indonesia yang berjumlah puluhan juta itu tiap semesternya? Belum lagi selama beberapa tahun ke depan atau kebutuhan akan kertas yang meningkat ketika murid tersebut menjadi seorang mahasiswa. Nah, itu baru di Indonesia. Bagaimana dengan seluruh dunia?
Batu, Kertas, ...
Ketika efek penebangan pohon mulai disinyalir menjadi salah satu penyebab pemanasan global, solusi pun ditemukan bersamaan dengan berkembangnya teknologi manusia. Perkembangan media pembelajaran dimulai dari peralihan sarana tradisional ke media komputasi seperti komputer. Istilah e-learning, pemanfaatan teknologi informasi dalam pendidikan, mulai dikumandangkan dan dipraktekkan di mana-mana. Mulai dari slideshow sederhana, software-software khusus pendidikan, hingga melalui akses internet. Internet, dunia maya yang bahkan tidak berbentuk. Tidak bisa disentuh langsung dengan kulit seperti halnya batu maupun kertas.
E-learning for effective learning. Memudahkan guru dan murid dalam proses belajar-mengajar, bahkan bisa dilakukan kapanpun dan di manapun. Tidak ada lagi istilah “ketinggalan pelajaran karena tidak masuk kelas”. Tinggal hidupkan komputer, laptop, atau handphone, lalu sambungkan dengan internet dan ... beres! Berbagai sumber untuk pelajaran sudah menanti, bahkan kian banyak dan bervariasi dari hari ke hari. Belajar tidak lagi membosankan, tapi menarik.
Namun pintar-pintarlah mencerna, karena tidak semua hal yang tertulis di internet adalah nyata adanya. Pemikiran-pemikiran yang tertuang dalam tulisan itu justru kebanyakan masih berupa opini, perlu kembali dikaji ulang untuk menilai keabsahannya. Berbeda dengan sumber dari buku, tentunya, yang sudah disunting beberapa kali sebelum masuk ke proses percetakan.
sumber: 1 | 2 | 3
0 comments