Retoris
00.17Sebuah cerpenku dulu. Dipublikasikan @embunpadasenja, April 2009
Ketika aku membuka mata, aku melihat warna itu. Warna yang meneduhkanku ketika semua ini menenggelamkanku dalam kegelapan. Biru langit itu melekat di kedua bola mata hitamku, menyisip sinar-sinar dari matahari yang tertutup mega. Aku masih menatap langit, tanganku kujulurkan ke atas.
Aku ingin menggapai langit.
Aku ingin menjadi bagian darinya.
Aku ingin terbang dan bertemu dengan mereka. Di titik putih itu.
Bila masih ada waktu.
Aku, tersadar akan sesuatu, lalu merogoh kembali sakuku yang penuh oleh sampah bungkusan permen. Ada. Kunci sepedaku. Aku mendekatkan mainan kunci itu ke wajahku. Boneka kucing dan anjing itu berputar-putar, dengan latar biru. Haha, aku seperti bayi yang mendapat mainan kincir di atas tempat tidurnya.
Si kucing itu berkata kepadaku,"kamu tidak boleh diam di sini, ntar masuk angin." Sayup-sayup terdengar suara anjing,"kenapa? Biarkan saja ia di sini."
Si kucing tampak kesal, lalu memukul hidung si anjing,"Bodoh! Mereka akan bingung bila ia tetap di sini."
Si anjing balas memukul si kucing,"Lo? Apa salahnya menenangkan diri sebentar? Kasihan dia, seharian di rumah dengan situasi seperti itu--"
"Anu,"potongku kepada mereka berdua. Si anjing dan kucing menatapku dengan serius, mencoba mendengarkan tiap ucapan yang kulemparkan kepada mereka. "Apa mereka menyayangiku?"tanyaku.
Apa mereka menyayangiku? Haah, sebuah pertanyaan retoris, memang. Tapi aku sungguh diliputi kegalauan, saat ini.
Si kucing dan si anjing tampak tak bisa menemukan kata-kata yang pas bagiku. Si kucing lalu menyalak, dan si anjing mulai mengeong. Aku mengesampingkan tubuhku, menatap rerumputan yang terbentang luas di di depanku. Tangan kiriku masih menggenggam kunci sepedaku dengan erat. Berharap mereka akan menjawab pertanyaanku. Tapi tak mungkin. Aku dalang mereka. Bagaimana aku bisa menggerakkan mereka, sementara aku sendiri masih belum tahu jawabannya?
Haah. Semilir angin seperti ini membuatku muak. Aku ingin hujan turun. Sekalian saja petir menyambarku. Biar di halaman depan koran harian itu, ada namaku, dan mereka menjerit histeris di rumah. Haha. Lucu? Lucu.
Aku adalah seorang anak bungsu dari keluarga biasa-biasa saja. Aku pun terbilang lebih dari sekadar anak biasa. Ya, aku adalah anak yang amat sangat biasa saja. Kecuali keluargaku. Ibuku meninggal karena sakit, dan setahun setelah kepergian ibuku, ayahku menjadi gila, dan ditemukan tewas karena kecelakaan di jalan raya. Aku kini hidup bersama saudara perempuanku. Kami terpaut jarak tiga tahun. Ia memutuskan untuk menikah dengan pria yang ia cintai setahun setelah ayah meninggal. Rumah kami akhirnya berpulang kepada saudara jauh kami, dan aku tidak punya tempat untuk tinggal. Maka, kakak dan kakak iparku mengajakku untuk hidup satu rumah.
Biduk rumah tangga itu sangat rumit, aku akui. Kakak perempuanku itu pun pasti merasakan hal yang sama. Bila saat berpacaran mereka bisa bermesra-mesraan, kini mereka selalu saja diliputi dengan ketidakcocokan. Entahlah mengapa. Tapi, aku kena imbasnya.
Ketika itu, langit sudah berganti warna menjadi kemerahan. Aku baru saja selesai merapikan kelas setelah les pemantapan berakhir. Dua bulan lagi aku akan menempuh ujian akhir, dan aku belum begitu siap. Sangat belum siap mental.
Aku mempercepat gerak jalanku untuk kembali ke rumah itu. Rumah kontrakan, yang sanggup dibayar dengan gaji pas-pasan mereka. Tidak terlalu jauh memang, hanya berkisar satu kilometer dari sekolahku. Aku begitu capai dan ingin sekali merebahkan badanku di tempat tidur kamarku. Namun, yang kutemui ketika aku membuka kenop pintu itu adalah, adegan perang kakak dan kakak iparku itu. Kakakku melempari suaminya dengan barang-barang yang ada di dekatnya, dan berteriak-teriak seperti orang gila.
Aaah.
Apalagi yang terjadi?
Aku hendak masuk ke kamarku dan menguncinya, ketika kudengar suara itu. Suara berat milik kakak iparku. Terdengar lirih.
"Aku capek, Yu. Aku mau sendiri."
Aku mengintip dari pintu kamarku, dan melihat pria itu mengambil kunci motornya. Melangkah keluar, dan berlalu dengan motor ceketernya. Sedangkan kakakku, berseru kepada laki-laki yang sudah tidak ada di rumah itu dengan geram,"Iya! Aku juga mau sendiri!"
Sambil menangis ia masuk ke kamarnya. Aku menghela napas dalam-dalam. Kuikuti kakakku. Dia membuka ransel lusuhnya, ransel miliknya saat di bangku sekolah menengah atas dulu. Membuka, dan memasukkan beberapa helai pakaian ke dalamnya.
"Mbok mau ke mana?"tanyaku pelan.
Perempuan itu menoleh ke arahku, dan menjawab, singkat,"Pergi."
"Ke mana?"
"Tidak tahu."
Lalu kami terdiam dalam bisu. Kepalaku berputar-putar. Aku masuk ke dalam kamarku, lalu menguncinya. Suara isakan kakakku masih terdengar hingga akhirnya aku tertidur. Dan ketika keesokan harinya aku bangun, kusadari, rumah ini begitu sepi. Aku menelan ludah. Aku bukan pemilik rumah ini. Bila mereka keluar, berarti aku juga harus pergi.
Jadi, setelah mengunci rumah dan menaruh kunci di dalam pot tanaman hias seperti biasa, aku pun beranjak ke luar rumah. Di pekarangan itu, di pohon mangga yang besar itu, aku mengunci sepedaku. Aku melepasnya, dan mulai menggayuh sepedaku, ke suatu tempat yang jauh. Setiap gayung kaki ini, setiap hembusan angin yang menerpa wajahku, aku berusaha menahan emosiku. Namun tak kuasa, sungguh. Air mata itu menetes bak terkena gaya gravitasi yang luar biasa besarnya, dan aku tak mampu membendungnya. Sungguh.
Ketika aku tersadar, aku sudah berada di lapangan ini. Menangis hingga tertidur. Ironis. Biarlah. Aku seorang perempuan, wajar saja bila menangis, bukan?
Aku membalikkan badanku hingga ke posisi terlentang lagi. Menatap langit itu. Entah sudah jam berapa sekarang. Ah. Bagaimana dengan pelajaran hari ini? Haha, aku membolos ya? Aku tertawa mendapati diriku yang berlagak hebat hingga bisa membolos kelas. Biasanya aku paling anti dengan anak nakal yang kerjanya membolos. Eh.. Aku sendiri membolos.
Sendiri.
Kata itu memenuhi benakku, dan tanpa sadar aku menitikkan bulir-bulir itu lagi.
"Kenapa menangis?"si kucing berujar padaku.
"Dia lagi sedih, kucing bodoh,"si anjing menjawab dengan cuek.
"Aku tak bertanya padamu, anjing jelek,"balas si kucing sambil mengewer pada si anjing.
"Aku..Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku rindu Bapak dan Ibu. Aku..aku cuma tidak mau sendiri.. Aku... Aku...,"dan lalu tangisku meledak.
Tak lama kemudian, sebuah suara menghentikan tangisku. Suara yang tak asing lagi di telingaku.
"Sade,"panggilnya. Refleks aku bangkit dari posisi tidur ke posisi duduk. Dan aku melihatnya. Seseorang itu, mendekatiku perlahan, lalu ikut duduk di sebelahku. Matanya bengkak, air mata mengepul di pelupuk matanya. Dia lalu memelukku, tanpa berkata apa-apa.
Aku balas memeluknya. Mencoba mengeluarkan semua isi hatiku, tapi tak bisa. Hanya sebutan,"mbok.." pelan yang terlempar dari bibirku.
"Maafkan kami, telah meninggalkanmu, Sade. Mbok Tu dan Bli Mang janji tidak akan bertengkar lagi. Sade juga jangan pergi. Kami mengkhawatirkanmu,"sebuah suara bernada sendu datang dari belakang kakakku. Wajahnya tampak pucat.
Aku merasa benar-benar bodoh.
Apa mereka menyayangiku? Sebuah pertanyaan retoris, yang memang tidak perlu dijawab.
Mungkin, kata-kata kakak iparku terkesan muluk, dan aku berani taruhan mereka akan bertengkar lagi, tidak lama setelah ini. Tapi, ada secuil ketenangan yang aku dapat dari dekapan kakakku ini, dan untuk detik ini, aku percaya bahwa aku tidak sendiri.
Jangan tertawa, anjing dan kucingku. Sebentar lagi kita akan menjemput sepeda dan balik. Maksudku pulang ke rumah.
0 comments