NEWT PSG
00.52Hal yang membuatnya paling berdebar selama NEWT berlangsung adalah saat ini. Ujian pemeliharaan satwa gaib. Luck menyelinap di barisan yang paling depan. Menatap pengawas ujiannya, Profesor Marcus Tofty dengan tampang yang serius. Serius setengah mati hingga wajahnya nyaris berubah pucat pasi. Ia tidak akan pingsan, tenang saja. Jas almamaternya cukup hangat untuk menangkal segala rasa dingin dan hawa mencekam yang menyerang dari hutan terlarang. Sarung tangan naga pun telah menyelimuti kesepuluh jemari tangannya. Hanya satu yang masih belum mampu terkendali.
Hati.
“Di sini ada 5 ekor hewan yang akan kalian pilih untuk kalian tangani. Ada anakan dari Naga Hijau Wales, Sphinx dan Unicorn. Selain itu juga ada Thestral dan Hippogriff dewasa.”
Luck menautkan kedua alisnya. Tangannya berubah gemetaran saat menangkap kata 'tangani' yang mengucur dari mulut sang profesor. Gugup. Ia gugup, cemas untuk mendengar kelanjutan intruksi yang akan dikumandangkan dalam ujian kali ini. Luck menelungkupkan jari-jari tangannya, menyatukannya menjadi satu. Ia menutup matanya. Menghela napas sejenak dan berdoa agar tidak terjadi apa-apa dengan satwa gaib yang cantik-cantik itu.
“Hewan-hewan itu terluka semua, jadi kalian harus mengobati dan merawat mereka dengan baik.”
Sontak ia membuka matanya. Ludahnya tertelan, jiwanya terguncang. Ini bukan rekayasa, Luck memang pecinta binatang. Dahulu ia dibenci oleh binatang saking gemasnya ia memperlakukan satwa gaib dengan cara yang berlebihan. Tapi sekarang semua telah berbeda. Ia semakin mengerti bagaimana memperlakukan satwa gaib itu. Ya. Tidak lain tidak bukan adalah dengan menyayangi mereka seperti keluarga sendiri. Karena itulah ia merasa miris. Ia tidak tega mengetahui betapa menderitanya objek yang diujiankan malam ini.
Maka, tanpa banyak basa basi dan berdiam diri, pemuda tujuh belas tahun itu segera mengambil langkah cepat. Mengangkat tangannya sebagai permohonan izin untuk melakukan giliran pertama. Bergerak paling awal ke depan. Mengisi daftar hewan dan memilih urutan ketiga. Alasannya, sebagai penyeimbang antara nomor depan dan nomor belakang. Tengah-tengah. Adil. Dan itulah yang menjadi prinsipnya selama ini. Luck menarik napas dalam sebelum masuk ke dalam ruangan kayu tempat praktek akan dilaksanakan. Satu tangannya menyentuh ujung tongkatnya. Berjaga-jaga bila ada yang tidak sesuai bayangannya.
Ia masuk dengan kewaspadaan tingkat tinggi. Berakhir dengan rasa iba yang memuncak. Unicorn di dalam itu tergeletak tak berdaya. Bersimpuh dan menggelepar. Warna kulitnya yang putih bersih ternodai oleh beberapa benjolan kebiruan di sekitar kaki kirinya. Kuda bertanduk itu mendengus, meringkik merintih kepada Luck. Sakit, pasti sangat sakit. Luck menoleh ke sekitar ruangan, mencari sebuah kotak yang sedianya berisi perlengkapan yang dibutuhkannya untuk mengobati unicorn anakan ini. Pemuda itu berjalan, mengambil kotak itu dan kemudian mendekati pasiennya. Ditatapnya dalam-dalam mata hitam itu dengan pandangan penuh arti. Perlahan Luck mengangkat lengannya, mengusap-usap tanduk dan rambut pada kepala hewan gaib ini. "Tunggu sebentar, aku akan menolongmu."
Luck beralih ke belakang, kembali pada misinya saat ini. Ujian bukanlah yang menjadi sorotannya saat ini, tapi bagaimana ia bisa membantu satwa gaib itu lepas dari penderitaannya. Lepas dari penderitaan belum tentu berarti mati. Masih ada cara lain. Pertolongan pertama, lalu penyembuhan tingkat lanjut. Untuknya yang masih seorang amatir, Luck hanya bisa melakukan upaya pertolongan pertama. Setidaknya itu bisa meringankan rasa sakit. Tidak pakai tongkat juga tidak apa-apa. Masih ada banyak jalan menuju Roma. Salah satunya adalah dengan cara muggle merawat manusia yang memiliki kasus serupa.
Pertama, karena bagian patah tulang dari unicorn adalah bagian vital yaitu alat geraknya, maka Luck mencoba menstabilkan bagian yang patah secara manual. Dipegangnya sisi sebelah atas dan sebelah bawah cedera, membuat pasien meringkik keras dan bergerak. Menghentakkan diri sebagai bentuk perlawanan. Saat itulah Luck sadar bahwa ia membutuhkan obat bius. Pemuda itu mencari-cari ke dalam kotak yang menemaninya. Menemukan sebuah botol berisi ramuan kedamaian yang biasa dipergunakan penyihir untuk melakukan tindakan medis atau menenangkan satwa gaib saat dipindahkan ke negara lain. Ia segera memberikannya kepada kuda cantik di dekatnya. Sedikit memaksa, namun ini demi kebaikannya. Dalam beberapa menit, sang unicorn pun terkulai lemas. Tertidur.
Saat yang tepat untuk beraksi. Luck segera menyiapkan perlengkapan yang dibutuhkan untuk membidai. Tidak ada kayu untuk membidai. Ranting tipis yang berserakan di antara rerumputan tidaklah mampu menopang beban, apalagi membidai. Luck merogoh perban yang tersedia di dalam kotak. Oke, itu saja sudah cukup. Pemuda itu segera memaparkan bagian memar dan cedera yang nampak. Dikerlingnya si unicorn. Ah... sudah lelap dalam tidurnya. Tanpa sadar senyum di wajah Luck terulas. Ia terkekeh kecil, membersihkan memar tadi dengan air lalu memolesinya dengan minyak. Perlahan tapi pasti, Luck membalut kaki sang unicorn. Yang paling penting di sini adalah, bidainya melingkupi dua sendi dari tulang yang patah, termasuk juga sendi distalnya. Ikatan dimulai dari sendi yang banyak bergerak, kemudian sendi atas dari tulang yang patah. Setelah merasa cukup, Luck pun bangkit. Membelai lembut rambut si unicorn dan melangkah keluar ruangan. Ada yang harus ia tanyakan.
Apakah mereka menyiapkan es untuk mengompres patah tulang unicorn?
Lalu, bolehkah ia membantu merawat hewan lainnya? Ia tak tahan.
--Rakus.
0 comments