OWL Telaah Muggle

08.10

"Rendall, Reid."

Dan namanya terpanggil. Gilirannya tiba. Reid hanya mengulum senyumnya tipis, melangkahkan kakinya menuju sebuah ruangan tempat dilangsungkan ujian telaah muggle. Jumat, minggu kedua. Ujian OWL terakhirnya. Setelah selesai ini, maka seluruh beban yang menekan dirinya selama dua pekan terakhir akan lenyap begitu saja. Bila ingat dengan pesta kecil-kecilan yang akan diadakannya dengan rekan satu kamarnya, Reid jadi tambah bersemangat untuk segera menyelesaikan ujian ini.

Telaah muggle? Tidak sulit. Keluarga Rendall adalah salah satu keluarga penyihir berdarah murni yang tidak terlalu fanatik dengan status darah penyihir. Dua generasi terakhirnya malah telah menempati lingkungan muggle tanpa sekalipun menimbulkan kecurigaan. Adaptasi mereka memang cukup tinggi, sehingga mereka tidak pernah melakukan hal yang mencolok kecuali pada jam-jam tertentu. Jam bebas muggle, istilah yang disebut oleh keluarganya ketika berbagai macam ilmu sihir digunakan tanpa henti. Tapi tidak semua anggota Rendall mampu menyihir. Mrs Rendall dan si bungsu Aleena adalah seorang squib. Bukankah seorang squib sama saja dengan muggle?

Dan raut wajah Reid Rendall tampaknya amat tenang ketika menemukan sebuah telepon di atas meja pada ruangan yang ia masuki. Barang yang satu ini sudah begitu familiar dengan kesehariannya saat liburan musim panas. Cukup angkat gagang teleponnya, lalu putar nomor telepon tujuan, maka secara otomatis kau akan terhubung dengan telepon lainnya. Jaringan komunikasi dengan menggunakan kabel, Reid akui ini merupakan cara yang jenius untuk ukuran manusia yang tak bisa merapalkan mantra. Well, setidaknya otak mereka bekerja.

Pemuda ini meraih kertas di atas meja. Membaca beberapa deretan angka--nomor telepon tentunya. Maka, seperti yang sudah dipaparkan barusan, Reid menggenggam gagang dengan dua moncong tersebut. Meletakkan telunjuknya pada cincin telepon nomor pertama kemudian menariknya berputar searah jarum jam hingga mentok. Dilepasnya jarinya, membiarkan nomor itu kembali berputar ke arah berlawanan dengan menciptakan sebuah suara yang khas. Baru satu. Masih ada beberapa nomor lainnya. Diulangi kembali perbuatannya sampai ke nomor yang terakhir, sebelum ia mengangkat gagang telepon ke samping telinga kanannya.

Nada sambung terdengar.

Tiba-tiba Reid jadi grogi sendiri. Suara siapakah yang akan terdengar di seberang sana?


"..."

Dialaminya lagi, dia ditelepon oleh si tanpa suara. Oh, betapa laki-laki ini menyesal karena lupa mengajarkan sopan satun dalam menelepon di kelasnya. Yang menelepon ini mestinya kan murid-muridnya sendiri, kan? Heu... ragu-ragu. Siapa tahu salah seorang penggemarnya ada yang mendengar mengenai ujian ini lalu membajak saluran telepon supaya bisa menerornya. Habisnya, dari tadi yang meneleponnya selalu orang tanpa suara—pada awalnya sih. Tapi, tapi, tapi... mestinya kan wajar bagi seseorang yang ingin menelepon untuk mengucapkan halo pertama kali.

"Hngg...," ucap laki-laki itu akhirnya, seperti telah terbiasa menghadapi situasi yang seperti ini. "Nama, kelas, dan asramamu? Tidak, tunggu... Tak usah menyebutkan kelas, kau kelas lima kan?"

Ya, di sekolahnya dulu laki-laki ini selalu mendapatkan nilai maksimal untuk setiap pelajaran ramalan yang diikutinya.

Dahi Reid berdenyit, mendengarkan suara di seberang teleponnya dengan amat seksama. Ada bunyi kresek, sunyi, lalu berakhir dengan suara seorang laki-laki. HAH, syukurlah bukan ibunya. Jantung Reid sudah hampir copot ketika beberapa pikiran negatif menggerayangi kepalanya saat menanti lawan bicaranya yang misterius. Tapi kini dia sudah merasa tenang, dan siap dengan segala pembicaraan yang akan terjadi.

Jadi... Nama dan asrama?

"Good morning, Sir. Reid Rendall dari Ravenclaw di sini. Ada yang bisa saya bantu?" Heh. Kenapa tiba-tiba dia berkata seakan menjadi operator telekomunikasi? Jangan sampai orang di seberang sana menganggapnya aneh dan menutup telepon. Woh, bisa gagal ujiannya. Ia harus meralat dengan cepat.

"Maaf, dengan siapa saya berbicara?" tanyanya kemudian dengan nada sopan, berusaha agar suaranya tidak terdengar grogi lantaran salah ucap, dengan durasi tidak sampai lima detik setelah mengucapkan kalimat terakhirnya.
Suara di ujung sana meyahut cepat, laki-laki ini terkejut—tergagap, tapi tak ada suara yang keluar. Terutama karena yang menjawabnya melontarkan rentetan kata formal yang begitu baku dan cocok diucapkan oleh para pramusaji. Iya, serius, laki-laki ini hampir kelepasan menyebutkan bahwa dia ingin memesan lasagna sembari membayangkan suara di ujung sana pasti keluar dari bibir tersenyum template yang ramah. Ini teknologi baru untuknya, dan laki-laki itu sudah merasa kehilangan orientasinya. Itu... sebelum akhirnya dia kembali meguasai kontrol dirinya melalui sebuah dehaman yang dijauhkan dari gagang telepon.

"Jadi, Mister Rendall, sire...," Apa? Kau mau menanyakan berapa nomer teleponnya? Atau menanyakan apa si Rendall ini punya dongkrak? Please deh ah. "Aku ingin tahu, berapa nomer telepon yang kau putar hingga kau bisa menghubungiku seperti sekarang ini."

Berapa? Berapa, hmm?

"Oh iya, kau tidak perlu tahu siapa aku... Anggap saja aku mimpi burukmu—tapi kuharap kau tidak bermimpi buruk malam ini, aku ada janji lain untuk malam ini dan tidak bisa menemuimu."

Saat lelaki di seberang sana mengaku-ngaku sebagai mimpi buruk, hanya satu orang yang terlintas di pikiran Reid. Siapa lagi mimpi buruk siswa Hogwarts selain Argus Filch, eh? Satu-satunya entitas di muka bumi yang menyenangi aksi pemberian detensi. Ngomong-ngomong, bila Filch ingin tahu soal nomor telepon yang diputar Reid, pemuda remaja ini juga punya satu pertanyaan mendasar yang ingin diajukannya. Filch dibayar berapa untuk semua ini ya? Ha. Seperti peduli saja. "Ooh, halo mimpi buruk, kalau begitu."

Reid meraih satu kertas yang ia letakkan di atas meja tadi dengan tangan kirinya. Tapi sungguh ceroboh, bukannya terambil, lembaran berisi nomor telepon itu malah melayang jatuh ke lantai. "Aah.. Tunggu sebentar, Sir,"ujarnya pada si penanya (Filch?), sembari menundukkan kepala, berusaha merengkuh helaian kertas kunci jawabannya.

Dan lalu, ketika ia berhasil mendapatkan kertasnya, Reid pun tersadar. Tidak ada sambungan kabel dari telepon ini ke manapun. Benar juga, kenapa tak terpikir olehnya sedari tadi, eh? Memangnya sejak kapan Hogwarts bisa dipasangi kabel telepon? Dengan sihir, segala sesuatunya memang mungkin saja terjadi. Pemasangan kabel telepon di bawah tanah adalah proyek yang amat mudah dengan rapalan mantra. Jauh berbeda dengan keadaan di dunia muggle. Tapi rasionya berkata lain. Ini pasti adalah jebakan. Ya, jebakan.

Reid melirik nomor telepon yang tertera di atas permukaan kertas. Oya, jadi nomornya berapa?

Kosong delapan kosong sembilan delapan sembilan empat kali... Tidak.

0845 46 47? Heh. Memangnya ini jasa pelayanan kesehatan nasional Inggris?

Mata pemuda itu memicing. Membaca empat nomor terdepan. "Nomornya, Sir, adalah... 81 40--" untuk Profesor Bi Ao du. Pasti. "--tapi saya rasa berapa pun nomor yang saya putar akan tetap terhubung pada Anda." Yeah, mana mungkin terhubung dengan jasa telepon hiburan untuk pria dewasa. Reid masih remaja, dan dia tidak perlu nomor itu karena ia kan sudah punya ehem, Phitton.

"Benar begitu, Sir?"
Laki-laki ini tersenyum, antara senang, simpatik, dan juga sedikit kecewa. Anak laki-laki di ujung sana itu memang cerdas, tapi tidak patuh. Agaknya itu memang menjadi trend bagi anak-anak jaman sekarang. Generasinya sendiri sudah lewat dua tahun lalu, kini kata-kata teenager tak lagi menjadi embel-embel dalam penyebutan usianya.

"Dear, Rendall. Mengapa kau mengira bahwa berapapun nomer yang kau putar, pasti akan terhubung kemari, nak? Dan kalau memang itu benar, maksudku kalau memang benar nomer apapun yang kau putar akan terhubung kemari, kiranya kau sudi mengatakan berapa nomer yang kau putar untuk menghubungiku tadi, nak."

Care to say? No? Well then, a simply troll just suits you well.

Reid tersenyum tipis, matanya memandang kosong bagian belakang telepon yang tidak tersambung ke mana pun. Telinganya mendengar dengan jelas setiap perkataan yang dituturkan orang di seberang sana. Dan pemuda remaja yang semakin aneh setiap harinya itu akhirnya bisa mengkonklusi bahwa dia bukanlah Argus Filch. Penjaga sekolahnya itu bersuara serak-serak basah, agak sedikit cempreng pada kata-kata tertentu. Sementara yang sedang ia ajak bicara tidaklah demikian. Well--Reid agak sedikit bersyukur karena ia belum keceplosan menyebut nama Filch. Ha.

"Karena, Sir, saya sedang berada dalam OWL telaah muggle. Saya pasti akan terhubung dengan penguji, bukan dengan orang lain,"begitu nalarnya, ia katakan dengan sejujur-jujurnya. "Nomor yang saya tekan adalah, 8140174." Bi Ao Du, nama profesornya.
"Hmm, begitukah? Baiklah, ujianmu sudah selesai, kau bisa keluar."

You Might Also Like

0 comments