OWL Mantra

08.14

Mulutnya membulat besar. Kuapan paling luar biasa yang pernah ia lakukan. Matanya bahkan menitikkan air mata ketika perwujudan kantuk itu usai. Mengerling singkat kepada si pengawas ujian, yang baru saja memanggil namanya. Gilirannya, hm. Ujian OWL pertamanya, ujian mantra. Reid melangkahkan kakinya dengan sedikit enggan; tangannya mengucek-ucek matanya yang berair ketika diikutinya arah gerak si pria berambut chestnut. Ia pikir pengawasnya akan berdiri di sampingnya. Eh, ternyata ujung-ujungnya malah menempati sebuah kursi, sementara Reid berdiri di depan sebuah meja dengan empat kotak aluminium. Entah kenapa Reid merasa sedikit iri pada si pengawas ujian. Kursinya tampak empuk, ngomong-ngomong, dan cukup nyaman untuk digunakannya tidur siang.

Tapi, hei--dia kan sedang ujian.

Dan si pengawas menyuruhnya untuk memilih salah satu kotak. Tidak boleh warna asrama katanya. Ya sudah, Reid langsung saja memilih warna kuning. Tidak perlu dijelaskan, kau pasti sudah tahu betul apa alasannya. Sayang, warna kuning itulah yang mengingatkannya pada keadaan dirinya saat ini. Menyedihkan, sepekan lebih terlewati tanpa bertemu dengan Phitton. Membuatnya sedikit terpuruk dan tidak terlalu memperdulikan dirinya. Reid melahap kitab mantra standar seharian, by the way. Menghapalkan seluruh isinya selama dua puluh dua jam. Alhasil dirinya kini diliputi rasa kantuk berat yang sedikit ternetralisir dengan secangkir kopi.

"...Di permukaan kotak ada tulisan tak terlihat..." Blablabla. Reid tak mendengar jelas apa instruksinya, tapi ia sudah menerka pasti mantra apa yang harus ia rapalkan. Aparecium bukan? Apareci...

"Hoaaa..um." Kuapan lagi. Mungkin ia akan nampak tidak sopan di mata pengawas ujiannya. Tapi reaksi ini natural, Sir. Reid mengangguk-angguk tanda mengerti ketika ia mendengar sang pengawas melanjutkan kata-katanya dengan aba-aba mewarnai telur. Diletakkannya kembali kotak berwarna kuning yang berada di atas telapak tangannya. Menatapnya dengan pandangan hampa. Kosong, pikirannya. Matanya bahkan berangsur-angsur menutupkan kelopaknya. Hanya sebentar saja, sungguh. Lima detik tertidur--bodoh, dan Reid tersentak kaget sendiri. Rasa-rasanya ia seperti jatuh ke jurang, sesaat sebelum ia menyadari bahwa dirinya telah lalai selama beberapa waktu tadi.

Tidak, tidak. Lima belas menit saja, Reid, dan tidurlah di kamar asramamu.

Diacungkannya tongkat ke arah kotak aluminium berwarna kuning. "Aparecium!" Ia berusaha mengeraskan suaranya agar perasaan kantuk tidak menyerangnya kembali. Lalu, seperti yang diterangkan dalam halaman-halaman teori, mantra itu menyebabkan tulisan yang tak terlihat perlahan muncul dan memungkinkannya membaca. Jadi, isinya apa, eh? Reid menunduk, memicingkan matanya. Membaca satu per satu kata yang menyembul di atas permukaan kotak.

"Aku. Akan. Muncul. Dengan. Tiga. Kali. Gelitik--ha?" Reid mengangkat satu alisnya. Memikirkan apa yang akan muncul dari balik kotak tadi membuatnya sedikit berjengit. Jangan boggart, tolong. Tapi ini bukan ujian PTIH, maka si pemuda pun tidak tanggung-tanggung untuk segera menggelitik si kotak. Lima buah jemari tangan kirinya (yang tidak menggenggam tongkat) telah melengkung dan nyaris menyentuh permukaan kotak ketika ia mengingat satu mantra yang mungkin bisa berfungsi.

"Aah. Itu. Rictusempra!"

Tiga kali.

"Rictusempra. Rictusempra."

Lalu terkikik sendiri, si kotak. Mengingatkannya pada sebuah lukisan buah di Hogwarts yang bisa tertawa bila dikelitik. Ngomong-ngomong, si kotak sedikit bereaksi aneh. Agaknya terlempar ke atas dengan otomatis, dan Reid sudah mengambil ancang-ancang kalau-kalau si kotak akan meledak. Tapi ternyata tidak. Sebuah telur ayam melayang turun perlahan dari kotak yang membuka pada detik berikutnya. "Accio telur,"ucapnya, malas memperhatikan gerakan telur yang bergerak amat lambat selayaknya kura-kura sedang berlari maraton.

Kini telur ayam telah berada dalam genggamannya. Harus diwarnai, ya, ya, Reid sedang berpikir. Ia memperhatikan seluruh isi ruangan yang notabene tidak berisi bahan apapun yang bisa dimanfaatkan. Tapi akalnya tidak sependek itu. Dengan sedikit hentakan, Reid mencabut paksa sebuah kancing jubahnya. Menaruhnya di atas meja, mengambil tongkatnya, lalu mengacungkannya pada kancingnya tadi. Sedikit improvisasi transfigurasi tidak melanggar peraturan, bukan? Toh ia sedang melakukan inanimate to inanimate. Transfigurasi paling sederhana. Mengubah kancing bajunya dengan wujud tomat.

Tomat mini. Ha.

"Engorgio." Lalu si tomat membesar dua kali lipat. "Engorgio," rapalnya lagi. Sepertinya ia tidak puas dengan ukuran tomat tadi. Karena sekarang, tomatnya sudah berukuran sebesar mangkuk sereal. Reid menghela napasnya. Gilirannya mengacungkan tongkat menghadap dirinya sendiri.

"Impervius."

Mantra kedap air.

Reid mengulurkan tangan beserta telurnya ke depan. Tongkatnya terlambai ke arah buah bulat berwarna merah di atas meja. "Nah nah. terbanglah kau, tomat--wingardium leviosa."

"Incarcerous."

Sebuah tali tiba-tiba muncul dan membelit si tomat. Sepertinya Reid berusaha untuk menghancurkan tomat dan menggunakan saripatinya sebagai bahan pewarna. Namun mantra tali tersebut agaknya tidak sebagus mantra yang kini diucapkannya. "Bombarda!"

Daar!

Bagus, kini cairan tomatnya berceceran ke seluruh ruangan, termasuk pada tomatnya yang telah ia putar-putar agar mendapat warna secara merata. Ruangannya kotor. Ha. Nanti saja dibereskan. Yang penting, Reid harus mempertahankan cairan merah yang mewarnai tomatnya. "Glacius." Cairannya membeku.

Reid tersenyum puas. Melambaikan tongkatnya ke seluruh ruangan. "Oke. Scourgify." Bersihkan lagi TKP-nya, Bung. Barulah kemudian ia bisa lega pergi keluar dari ruangan ujian. Semenit, dan diberikannya telur itu pada pengawas ujian. Namun sayang, ujian ternyata belum berakhir. Pemuda remaja itu mendengus. Mengangkat tongkatnya ke atas dengan malas sebelum berkata, "Flagrate."

Goyang sedikit, membentuk empat kata di bawah nama yang ia ukir pada awalnya.

Reid Rendall
YEAH, I AM SEXY


Ngomong-ngomong, kantuknya sudah hilang lo.

You Might Also Like

0 comments