Post #22
21.12Jadi, saya memutuskan untuk menaruh post#22 di blog. Demi memperkuat feel mesum saya, muahahaha. Tapi bohong :"| , cuma malas aja ribet-ribet dengan akun RR pas saya pengen baca ulang ini. Rating tujuh belas tahun ke atas plis. Thanks.
Lalu dia merasakannya. Dekapan itu. Dekapan erat yang beberapa kali diberikan oleh kekasihnya ketika Reid Rendall merasa frustasi dan ingin pergi. Yang terkadang membuat hatinya bertanya-tanya, apakah gadis Whitton itu sedang mempermainkannya. Skeptis. Tarik, ulur, tarik, seakan dirinya adalah segulung tali yang bisa diperlakukan semaunya dalam permainan layang-layang. Bagaimana kalau Reid benar-benar pergi, eh? Saat itu, mungkin, tali yang terulur telah menggores permukaan kulit tangan.
“You fool. You’re such a fool, you know?”
Tapi Reid tidak pernah ingin melukai sang gadis. Sedetik pun tak pernah terbersit di pikirannya untuk menyakitinya.
“I said I’m scared. I don’t recall I said I don’t want to.”
Wajah gadis yang menempel pada dadanya itu kemudian tertarik mundur. Tampak di sana, bulir-bulir air mata dan lukisan kurva yang membaur bersama rona wajah malu-malu. Lalu sebuah ciuman. Lembut. Sebelum didengarnya hiasan kata cinta pada kata-kata manis sang gadis. Dalam bisikan itu. Dan pemuda itu tidak mampu menyembunyikan rasa senangnya. Rasa lega yang telah melebur perasaan kecewa tak mengenakkan yang menderanya beberapa menit sebelumnya. Bibir ranumnya ikut tersenyum. Dibiarkannya sang gadis mengacak-acak rambut cokelatnya. Dan terhenti ketika bibir mereka bertautan untuk kesekian kalinya.
Dalam, lebih dalam.
Menghanyutkan.
Dan sensasi ajaib yang sempat menghilang itu kembali menyeruak. Membuat kedua lengannya balas memeluk pinggang sang gadis dengan erat. Erat. Posesif. Semakin terlena. Semakin berhasrat ketika mencumbu, menyentuh tubuh gadisnya, selagi kakinya setengah sadar beranjak dari posisinya. Menuntun gerak gadisnya. Tak sabar melangkah kembali ke ranjang itu. Ketika wajah mereka tak lagi menyatu, pemuda itu menatap lembut setiap lekuk wajah kekasihnya. Dahinya yang tertutup lembaran poni kemerahan, iris mata berwarna kecokelatan yang memantulkan paras Rendall, tulang hidung mancungnya, pipi tembemnya yang, ah, masih merona, juga belahan bibirnya yang memperlihatkan warna merah berbeda.
Darah.
"You... bleeding," desisnya cemas, sembari mengusap perlahan ruas bibir bawah gadisnya. Hati-hati. Takut lebih melukai. Dan ketika pandangan mata mereka kembali beradu, sebuah kalimat meluncur dari bibir Whittonnya.
“Now, make me yours.”
Tak terbantahkan. Seperti sebuah mantra, selayaknya jampi-jampi, keinginan memiliki itu semakin meluap-luap dalam dirinya. Berlipat ganda, secepat pembiakan amoeba. Rasanya berada dalam dunia separuh mimpi. Separuh lagi kenyataan. Memabukkan, rum dan Lucia Whitton itu. Didorongnya pelan tubuh sang gadis untuk berbaring, sementara dirinya kembali membayangi Lucia. Bermain dengan bisikan dan hembusan napas pada telinga sang gadis. "You are mine, Lucia. Forever."
Mengecup lehernya, lagi dan lagi. Membiarkan jemarinya bereksplorasi sesukanya. Lalu bibirnya merayap turun, kecupannya meluncur turun ke bawah. Menelusuri kain piyama, basah oleh rum. Lihat, bulatan kancing yang terpental lepas. Boneka beruang terpeleset jatuh, mungkin sempat tertendang. Lembaran-lembaran kain penutup kulit yang melayang, entah berakhir terdampar di sudut mana. Ah, Reid tidak peduli.
Juga gemerisik lainnya, pada selimut yang mulai bergulung tak beraturan.
“You fool. You’re such a fool, you know?”
Tapi Reid tidak pernah ingin melukai sang gadis. Sedetik pun tak pernah terbersit di pikirannya untuk menyakitinya.
“I said I’m scared. I don’t recall I said I don’t want to.”
Wajah gadis yang menempel pada dadanya itu kemudian tertarik mundur. Tampak di sana, bulir-bulir air mata dan lukisan kurva yang membaur bersama rona wajah malu-malu. Lalu sebuah ciuman. Lembut. Sebelum didengarnya hiasan kata cinta pada kata-kata manis sang gadis. Dalam bisikan itu. Dan pemuda itu tidak mampu menyembunyikan rasa senangnya. Rasa lega yang telah melebur perasaan kecewa tak mengenakkan yang menderanya beberapa menit sebelumnya. Bibir ranumnya ikut tersenyum. Dibiarkannya sang gadis mengacak-acak rambut cokelatnya. Dan terhenti ketika bibir mereka bertautan untuk kesekian kalinya.
Dalam, lebih dalam.
Menghanyutkan.
Dan sensasi ajaib yang sempat menghilang itu kembali menyeruak. Membuat kedua lengannya balas memeluk pinggang sang gadis dengan erat. Erat. Posesif. Semakin terlena. Semakin berhasrat ketika mencumbu, menyentuh tubuh gadisnya, selagi kakinya setengah sadar beranjak dari posisinya. Menuntun gerak gadisnya. Tak sabar melangkah kembali ke ranjang itu. Ketika wajah mereka tak lagi menyatu, pemuda itu menatap lembut setiap lekuk wajah kekasihnya. Dahinya yang tertutup lembaran poni kemerahan, iris mata berwarna kecokelatan yang memantulkan paras Rendall, tulang hidung mancungnya, pipi tembemnya yang, ah, masih merona, juga belahan bibirnya yang memperlihatkan warna merah berbeda.
Darah.
"You... bleeding," desisnya cemas, sembari mengusap perlahan ruas bibir bawah gadisnya. Hati-hati. Takut lebih melukai. Dan ketika pandangan mata mereka kembali beradu, sebuah kalimat meluncur dari bibir Whittonnya.
“Now, make me yours.”
Tak terbantahkan. Seperti sebuah mantra, selayaknya jampi-jampi, keinginan memiliki itu semakin meluap-luap dalam dirinya. Berlipat ganda, secepat pembiakan amoeba. Rasanya berada dalam dunia separuh mimpi. Separuh lagi kenyataan. Memabukkan, rum dan Lucia Whitton itu. Didorongnya pelan tubuh sang gadis untuk berbaring, sementara dirinya kembali membayangi Lucia. Bermain dengan bisikan dan hembusan napas pada telinga sang gadis. "You are mine, Lucia. Forever."
Mengecup lehernya, lagi dan lagi. Membiarkan jemarinya bereksplorasi sesukanya. Lalu bibirnya merayap turun, kecupannya meluncur turun ke bawah. Menelusuri kain piyama, basah oleh rum. Lihat, bulatan kancing yang terpental lepas. Boneka beruang terpeleset jatuh, mungkin sempat tertendang. Lembaran-lembaran kain penutup kulit yang melayang, entah berakhir terdampar di sudut mana. Ah, Reid tidak peduli.
Juga gemerisik lainnya, pada selimut yang mulai bergulung tak beraturan.
0 comments