Pagi
04.18Selamat pagi...
Aku mengerjap-erjapkan mataku berulang-ulang, mengumpulkan keping demi keping nyawaku yang berhamburan karena lengkingan ember yang gagal tertarik dari katrol sumur--lebih manjur daripada suara ayam berkokok tiga puluh menit sebelumnya. Atau, tangisan adik bungsu yang turut memecah keheningan. Dan begitu aku mendorong selimutku, aku tahu, pagiku selalu seperti ini.
Pagiku tidak sama seperti miliknya.
Dia yang selalu dikelilingi oleh orang-orang. Yang seakan memiliki magnet tak terlihat dalam dirinya, membuat satu-satu orang berhamburan ke arahnya hanya demi bertanya hal yang tidak signifikan. Senyum, dan bibir ranumnya melengkung begitu sempurna. Rambut ikal cantiknya dikibas-kibaskan ringan, berujung terpelintir kecil di jemari tangannya yang putih, seputih wajahnya.
Lalu decak tawa yang membuncah ke seluruh penjuru ruangan. Sementara aku, semakin terperosok jatuh ke dalam tumpukan dokumen-dokumen berdebu, semuram diriku yang kelam kelabu. Tak pernah tersentuh oleh perhatian, apalagi ikut kena imbas keceriaan. Ah, seindah mengandai durian jatuh dari pohonnya--tanpa mengenai kepala.
Aku bisa pastikan, pagiku tidak sama seperti paginya.
Tuhan menciptakan pagiku dan paginya dengan derajat yang saling bertolak belakang. Paginya pasti indah, dipenuhi oleh tarian dan musik klasik yang membuatnya selalu menjadi sosok putri idaman. Jarum detik jam pun akan digelayuti oleh malaikat-malaikat, dan burung-burung pipit hinggap di pinggir jendelanya ketika matahari menerobos masuk ke celah-celah kamarnya.
Dan entah berapa pagi setelahnya, aku terdiam.
Dia datang menepuk pundakku dari arah belakang. Aku tersetrum, seluruh bulu kudukku terangkat, seperti ada film horor tayang di depan mataku. Terdiam, aku mencoba mengambil napasku dalam-dalam. Bahkan menelan ludah saja tidak bisa, sungguh memalukannya diriku. Tapi tidak lebih memalukan dengan apa yang aku pikirkan dalam hati. Impikan dalam hati. Dia akan berkata, pagiku sama dengan milikmu.
"Apapun itu, pagiku absolutely tidak sama dengan pagimu. Loser."
Otot leherku seketika berputar, menoleh ke arah sosoknya yang lari berjingkrak dengan gembira mendahuluiku.
Oh ya, pagiku tidak sama seperti milikmu.
Karena entah berapa pagi berlalu, aku tidak mengindahkan kumpulan orang yang mendadak mengerubungi satu sisi jalan raya. Tidak memperhatikan segelintir kejadian kecil lantaran terlalu sibuk dalam duniaku yang kelam. Telat, dan hidup akan semakin mengelam, satu hal yang selalu menjadi prioritasku.
Dan ketika pagi mulai merayap menuju siang, aku tahu pagiku memang tidak akan pernah sama dengan pagi miliknya,
Aku masih bisa memeluk pagi, dan sayangnya dia tidak.
Pagi kita memang selalu berbeda, Tuhan menciptakan jalan kita berbeda. Hanya, bagaimana kita mampu mensyukuri hal itu.
Selamat pagi, Malam...
0 comments