Perspektif, Sekedar Curcol
23.56Jadi, beberapa teman saya di Facebook membagikan sebuah status milik seseorang:
Karena penasaran, saya baca dari awal hingga akhir postingan tersebut. Dalam hati saya mengangguk, otak saya langsung spontan mengkoordinasi jemari saya untuk menekan tombol LIKE. Kenapa? Jelas karena saya setuju.
Perspektif.
Bicara soal perspektif, sudut pandang, adalah sesuatu yang terdengar gampang, namun susah dilakukan. Misalnya saja, ketika kita bertengkar dengan seseorang tentang sesuatu, kita merasa diri kita benar. Lalu orang tersebut juga menganggap dirinya benar. Ego masing-masing tidak bisa disatukan, maka terjadilah perselisihan. Padahal, kalau kita bisa merasakan apa yang orang itu rasakan, mungkin ceritanya akan berbeda. Melihat dari sudut pandang orang lain itu gampang, tapi merasakan? Susah, gila!
Sebut saja ketika saya bertengkar dengan pasangan. Ya, setiap rumah tangga pasti mengalami gejolak, seperti kurva pangkat sesuatu yang selalu bergulir dari atas-bawah-atas-bawah-dan seterusnya. Percaya atau nggak, saya bisa melihat apa yang terjadi dari sudut pandangnya. Dari sudut pandang orang yang kebetulan lewat, dari sudut pandang keluarga. Tapi apakah dengan begitu saya bisa mengendalikan diri? Tetap saja tidak. Hati saya cuma satu. Cuma bisa merasakan sesuatu yang saya rasakan, dan bukan yang dia rasakan. Tempatnya sudah penuh. Terblokir. Tertutup. Dan seperti halnya sebuah dinding tinggi tebal nan kokoh, tidak ada yang bisa mengalahkan ego sesaat.
Maka, ketika saya dihadapkan dengan tulisan ini, saya seakan membandingkan diri saya sendiri. Saya seorang ibu rumah tangga biasa, seorang sarjana yang hanya melakukan rutinitas sebagai ibu dan istri (yang bagi sebagian kalangan wanita karir akan menyebutnya pembantu, meskipun tanpa bayaran sepeserpun, haha). Jujur, ketika saya melihat ibu lain yang tidak diam di rumah alias bekerja, ada bagian keciiiiil dari diri saya yang berkata "Wah, anaknya ditinggal ibunya" dengan rasa iba.
Lalu tiba-tiba saya mendapat bacaan tentang ibu yang seharusnya meninggalkan pekerjaannya demi mengasuk anak. Bahwa jika menitipkan anak ke orang lain, anaknya tidak mendapat kasih sayang penuh dari ibunya. Bahwa jika menitipkan anak ke orang tua/mertua, kasihan orang tua/mertua yang sudah merawat kita/pasangan dari kecil dan kini lagi-lagi harus dihadapkan dengan kondisi yang sama. Bukankah mereka seharusnya mendapat waktu untuk menikmati masa tuanya. Belum lagi bahaya yang terjadi seandainya anaknya berada di tangan penjaga yang salah. Semua pernyataan dari bacaan itu seolah menguatkan batin saya yang masih terombang ambing.
Padahal ya, setiap keputusan memiliki konsekuensi yang berbeda. Saya irt, tidak bekerja, waktu sepenuhnya untuk keluarga. Saya bisa bersih-bersih, mengurus anak, mengurus suami, keluarga suami (minus masak haha). Bisa melihat perkembangan si kecil, dan dengan PD saya bisa katakan bahwa saya yang paling tahu anak saya, bukan orang lain. Di satu sisi, sebagai irt, saya tidak berpenghasilan. Tidak pernah membantu ekonomi keluarga yang tidak stabil, dan jika diungkit oleh ehem, saya selalu merasa bersalah. Selalu.
Bagaimana jika saya menjadi wanita karir? Plus, saya bisa menghasilkan uang. Negatif, tidak bertanggung jawab penuh pada keluarga.
Sama saja.
Dalam setiap keputusan yang kita ambil, ada sisi negatif dan positifnya. Setiap keputusan menentukan jalan hidup yang kita pilih, menentukan apa yang akan kita rasakan. Dan kalau toh kita atau orang lain nyinyir pada kita, itu salah siapa? Bukan siapa-siapa. Pada akhirnya, ini hanya tentang perspektif.
0 comments