Cara Alami Menyapih ASI Pada Anak

11.00

Kali pertama memiliki buah hati, tentunya ingin memberikan yang terbaik baginya. Sayangnya, tidak seperti anak-anak yang sudah mulai dikenalkan oleh ilmu pengetahuan di sekolah selama bertahun-tahun untuk menjadi seorang yang ahli di bidang tertentu, tak ada pendidikan khusus untuk menjadi orang tua yang ahli. Bahkan, kadang saya melihat (secara tidak sengaja membaca dari berbagai sumber di internet) ada kasus dokter anak yang kehilangan anaknya karena tersedak, atau seorang bidan yang justru tidak memberikan ASI secara ekslusif di usia enam bulan pertama bayinya. Tapi, setiap orang punya keadaannya masing-masing, dan kita tidak bisa secara langsung men-judge mereka tanpa tahu cerita dari berbagai sisi. Well, saya sendiri juga demikian.


Saya bukan ibu yang sempurna. Saya tidak seperti ibu-ibu hebat lainnya yang hobi memasak dan membuatkan MPASI berbagai varian. Dan anak saya cenderung lebih suka minum asi ketimbang makanan pendamping. Bahkan, hingga umurnya menjelang dua tahun, dia lebih suka nenen dan membuat tubuhnya terbilang kurus dibandingkan anak-anak seusianya yang saya temui di posyandu setiap bulan. Meski begitu, syukur sekali anak saya tidak pernah sakit. Kalau saya membaca timeline di medsos dan mendapati status keluarga atau teman saya yang sedih karena anaknya sakit, saya sedikit berbangga karena anak saya sehat, tak pernah demam, batuk atau pilek. Hanya demam setelah diimunisasi (itupun sudah diwanti-wanti oleh perawat yang memberikan suntikannya), dan sakit mata karena tertular keluarga (ya, mulai dari kakeknya, satu rumah tak ada yang luput). 

Katanya, ASI itulah yang merupakan antibodi yang terhebat untuk bayi. Diciptakan oleh tubuh ibu khusus untuk bayinya, membuatnya lebih eksklusif dibanding susu formula yang diracik untuk semua bayi secara umum. Apalagi, dengan menyusui, hubungan ibu dan anak terasa semakin erat. Tapi, tidak mungkin kan kita memberikan ASI secara terus-menerus? 

Ibu mertua sudah ingin menyapih cucunya dari saya sejak berbulan-bulan lalu, tapi saya masih kukuh mengikuti rekomendasi UNICEF dan lembaga-lembaga kesehatan untuk menyusui hingga umur dua tahun. Menginjak minggu-minggu terakhir sebelum ulang tahunnya, saya mulai browsing tentang cara menyapih. Dan yang saya tidak pernah duga adalah cara alami menyapih anak tidaklah seperti yang saya bayangkan. 

Tidak perlu membohongi anak dengan mengatakan ASI sudah jelek.
Tidak perlu memaksa anak untuk langsung berhenti menyusui, entah dengan meninggalkannya dengan nenek kakeknya ataupun dengan memberikan sesuatu pada dada ibu.

What? Padahal resep mertua dan ibu saya, mengolesi dada dengan sesuatu yang pahit sehingga ketika bayi menyusui dan merasakan pahit, dia otomatis akan stop. Atau celetukan suami saya yang menyuruh saya mewarnai dada dengan tinta printernya yang berwarna merah lantaran dahulu pernah kejadian anak saya bermain dengan botol tinta hingga kakinya berlumuran merah, dan anak saya menangis ketakutan tidak mau melihat kakinya sendiri.

Stop, Moms! Jangan lakukan itu ya. Untungnya saya nggak jadi mengikutinya. Karena cara menyapih alami tidaklah perlu dengan memberikan luka hati atau trauma pada anak, tapi hanya dengan memberikannya kasih sayang.

Ya, yang perlu kita lakukan cuma berkomunikasi secara hati ke hati dengan anak kita. Itu yang saya bisa simpulkan dari pengalaman saya sendiri. Meskipun secara verbal anak kita mungkin belum bisa mengungkapkannya, tapi dia mengerti apa yang kita ucapkan. Berikan pengertian bahwa sudah saatnya baginya untuk mandiri, untuk mencoba rasa dari makanan jenis baru yang tak kalah lezat. Memang, tidak mungkin untuk menyetop setelah hanya sekali berbicara seperti itu.

Lakukan berulang-ulang hingga anak kita mengerti, sembari kita mengurangi frekuensi menyusu. Yang biasanya beberapa kali dalam sehari menjadi cuma tiga kali sehari, lalu hanya dua kali, sekali (saat hendak tidur malam), dan akhirnya tidak sama sekali. Saat sudah menjadi

You Might Also Like

0 comments