OWL Transfigurasi
08.24Ujian ini membunuhnya. Serius, pemuda remaja yang genap berusia enam belas di bulan April lalu ini merasakan dirinya nyaris sama dengan inferi. Ya, kau tahu--tumpukan buku, ritual begadang plus diet masal membuatnya jadi sering mengalami depresi akut. Bahkan sempat-sempatnya terpikir di kepalanya bahwa sebetulnya ia adalah boneka mati yang digerakkan secara paksa untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah. Lalu, teman-temannya juga. Kemudian... Ah, ya, dia juga. Sama.
O.W.L.
Hari ini bukan hari pertama, by the way. Kemarin ujian perdananya dilangsungkan, ujian mantra. Dan bila kau ingin tahu bagaimana kusutnya Reid Rendall, kau bisa tengok pakaian yang dikenakannya saat ini. Kerah bajunya terangkat setengah, dasi almamater asramanya bahkan tergulung tidak mengenakkan. Matanya berkantung gelap, dan beberapa helai rambutnya berdiri secara elektrik. Ck ck ck. Biasanya, situasi semacam ini bisa teredam dengan kehadiran dia. Lucia Whitton selalu memperhatikan dirinya, mengoreksi penampilannya, dan menghadiahkannya senyuman terindah yang pernah ia saksikan seumur hidupnya.
Tapi tidak untuk hari ini. Tidak juga pada beberapa hari menjelang ujian. Suatu ketika Reid pernah sengaja turun ke lantai bawah tanah, mencari Phitton-nya (walau ia harus menunggu sampai seseorang anak musang keluar dan bertanya padanya). Namun beberapa kali ia melakukannya, ia selalu mendapati asrama Hufflepuff tanpa pacarnya. Mungkin Lucia terlalu sibuk belajar dengan teman-temannya, hingga melupakan ekstensi anak kedua keluarga Rendall ini. Atau jangan-jangan, Reid pernah melakukan kesalahan yang tidak ia sadari? Sangat masuk akal mengingat mereka berada di sesi yang sama ujian transfigurasi : sesi satu, namun sekalipun Phitton tidak ada menegurnya.
Hu hu hu.
Reid yang nestapa.
Reid menjablai.
Reid butuh semangat dari dia.
Reid butuh satu ciuman--
"...instruksi akan diberikan melalui lukisan sihir yang ada di sana."
--bukan ujian, please.
Menghela napasnya, sembari melirik singkat Whitton yang berada di samping Isaac Jakubowski. Berharap agar sekaliiii saja gadis berambut pirang kecokelatan itu menyadari tatapan matanya yang lunglai bagai terkena jinx Jelly-legs. Tapi Reid merasakan kok, ada mata yang mengawasinya di depan. Maka, detik berikutnya, Reid memutar paksa bola mata cokelatnya yang berpendar redup ke arah lukisan dengan tontonan tak menarik di hadapannya. Balok. Kura-kura. Guci. And gone.
Your love for me is gone, Phitton?
"...silakan mulai uji cobakan pada balok kayu yang ada pada meja masing-masing."
"Inanimate. To. Animate,"gumamnya seraya mempererat tongkat yang sedari tadi berada dalam genggamannya. Matanya memicing menatap balok kayu di meja depannya. Mencoba mengumpulkan konsentrasi meskipun mentalnya sedikit terganggu. "Kura-kura,"ucapnya, sebelum alis matanya mengkerut keras. Bibir bawahnya ia gigit, memfokuskan pikiran untuk mentransfigurasi si balok kayu. Bergetar, lalu terangkat sendiri. Perubahan yang menakjubkan, menyisipkan roh pada benda mati. Dan serat-serat kayu pun menebal, mengkerut pada titik-titik sudut, menjadikannya sebuah tempurung keras berwarna kecokelatan. Daging-daging tambahan menyembul keluar dari lima sisi yang berbeda, melengkapi wujudnya dengan kepala dan empat buah kaki.
Good job, ucapnya menyemangati diri. Dipandangnya si kura-kura dengan perasaan lega. Memulas senyum tipis di wajahnya, sedikit tidaknya mempercerah ekspresi mukanya yang masih berantakan. Reid melirik pekerjaan kekasihnya barang dua detik. Kura-kuranya sempurna. Bagus, Phitton. Dan Reid tidak mau kalah. Untuk bagian kedua, animate to animate, Reid melakukan tugasnya dengan lebih cepat. "Vera Verto,"rapalnya sambil menyorot binatang berjalan pelan tersebut dengan konsentrasi yang lebih mantap. Tak perlu komentar apa-apa, karena si kura-kura kini telah kembali menjadi bentuk tak bernyawa. Guci keramik berwarna cokelat yang bersinar ketika permukaan licinnya tertempa cahaya.
Wajah Reid semakin bersinar. Sepertinya ia mendapat ilham. Ada tawa-tawa mesem kecil keluar dari mulutnya. Membuatnya semakin terlihat mencurigakan. Satu langkah terakhir, dan Reid akan keluar dari ruangan. Akan tampak keren bila ia lebih dahulu menyelesaikan ujiannya, jadi ia bisa mempersiapkan kata-kata yang tepat untuk mengajak Lucia Whitton makan bersama.
Ya. Makan. Bukankah perut lapar adalah salah satu yang menyebabkan timbulnya emosi macam ini?
"Evanesco,"katanya tegas. Setegas rencananya.
Lalu, bagaimanakah nasib si guci? Lenyap. Hilang dalam hitungan sepersekian detik, bersamaan dengan lenyapnya pikiran kacau selama berlusin-lusin jam sebelumnya. Say goodbye, then.
0 comments